GenPI.co Jogja - Dosen Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang (UNNES), Gunawan mengungkapkan, petani di Kabupaten Gunungkidul dimobilisasi pemerintah dan perusahaan untuk menyisipkan tanaman jarak di lahan mereka.
Padahal, lahan mereka sangat terbatas.
Di sisi lain, lanjutnya, para petani sebelumnya hanya mengenal jarak pagar sebagai tanaman liar dan tidak termasuk sebagai tanaman yang diharapkan hasilnya.
“Proyek penanaman jarak pagar yang dijalankan melalui mobilisasi telah gagal meningkatkan kesejahteraan hidup petani. Mobilisasi menjadikan petani semakin tergantung dengan selalu mengharapkan proyek berikutnya,” katanya mengutip laman resmi Universitas Gadjah Mada (UGM), Kamis (25/11).
Hal itu dia katakan saat menjadi narasumber Seminar Nasional Berseri Kajian Antropologi Indonesia Putaran II seri #8 dengan topik seminar Jarak Pagar: Tipu Petani Lahan Tandus yang diselenggarakan Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya UGM, Senin (22/11).
Menurut Gunawan, jarak pagar sebagai tanaman anjuran tetap dibiarkan tumbuh oleh petani walaupun tidak memberikan hasil.
“Hal itu untuk menunjukkan bahwa petani dapat diatur dan menjalankan proyek dengan baik, sebab kegagalan bukan karena kesalahan petani sehingga mereka terus dipercaya untuk mendapatkan proyek lainnya,” ujarnya.
Menurutnya, diperlukan studi etnografi untuk melihat hubungan sosial yang dibangun petani saat menghadapi proyek jarak pagar.
Studi etnografi itu untuk menemu-kenali, mengidentifikasi, dan menafsir perilaku, gagasan, dan pandangan para petani dalam seting relasi sosial sehari-hari.
Sementara itu, pengumpulan data dilakukan dengan melakukan pengamatan terlibat, wawancara mendalam, serta penelusuran kepustakaan.
“Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketika proyek jarak pagar berlangsung di Gunungkidul para petani mengalami situasi yang aneh. Mereka harus menanam jarak pagar padahal mereka mengenal jarak pagar sebagai tanaman liar,” ungkapnya.
Dirinya juga mengatakan, dalam situasi yang aneh tersebut, para petani bertindak “anut grubyuk”.
Hal itu berarti mereka harus melakukan sesuatu karena mengikuti yang dilakukan oleh orang lain.
Alih-alih menyelesaikan kemiskinan, menurutnya, proyek jarak pagar justru menjerumuskan petani pada hilangnya kritis dalam menghadapi persoalan sehari-hari.
“Pengembangan jarak pagar menjadi sekedar proyek untuk mendapatkan keuntungan sesaat. Ketika proyek jarak pagar gagal, mereka tetap ingin menunjukkan bahwa proyek itu berjalan dengan baik agar mendatangkan proyek berikutnya,” pungkasnya. (*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News